Kamis, 15 Mei 2014

SORRY GAN BARU BISA BUKA BLOG LAGI!!! SEKEDAR INFO KALAU BLOG INI HANYA SEKEDAR UNTUK BERBAGI INFORMASI TENTANG DUNIA ALAM BEBAS DAN MUSIK, JADI SHARE KALAU ADA INFO TENTANG MUSIK, KHUSUNYA GENRE REGGAE ATAU POP,ATAU ETNIC JUGA BOLEH!!
 THA'NKS LESTARI!!!

Jumat, 09 Mei 2014

SATWA ENDEMIK SULAWESI (CELEBES ANIMALS )



ANOA (BUBALUS DEPRESSICORNIS)

Anoa merupakan hewan endemik Indonesia yang hanya ada di Indonesia. Anoa berbentuk seperti kerbau kerdil. Ada dua jenis anoa yang ada di Sulawesi, yaitu Anoa dataran rendah (Bubalus Depressicornis) dan Anoa pegunungan (Bubalus Quaerlesi). Kedua jensi anoa ini saat ini telah terdaftar menjadi satwa langka yang terancam punah karena pembalakan hutan liar. Mereka diburu untuk diambil daging, tanduk, dan kulitnya.
Anoa banyak ditemukan di Pulau Sulawesi seperti hutan rawa, dan anoa pegunungan banyak ditemukan di hutan-hutan dataran tinggi. tidak seperti sapi yang merupakan satu species dengan mereka yang hidup dalam kawanan, anoa hidup semi soliter, yaitu hidup sendiri atau berpasangan dan hanya akan bertemu dengan kawanannya jika si betina akan melahirkan. Mereka paling aktif saat sore dan pagi hari saat udara masih dingin. Untuk mendinginkan tubuh mereka, biasanya mereka juga berendam di lumpur atau air.
Sepintas, anoa mirip dengan kerbau kerdil. Dengan ukuran tubuh yang tingginya sekitar 76 cm dan beratnya hingga 300 kg. Anoa muda tubuhnya ditutupi oleh bulu berwarna coklat muda yang tebal. Sedangkan anoa dewasa memiliki kulit berwarna coklat gelap yang bisa terlihat jelas lewat bulu-bulu mereka. Ada tanda putih di kaki dan kepala mereka dan kadang berbentuk bulan sabit di area sekitar tenggorokan. Antara jantan dan betina sama-sama memiliki tanduk yang bisa tumbuh mencapai panjang sekitar 38 cm. Anoa gunung memiliki penampakan tubuh yang hampir sama hanya saja bulunya tetap tebal sampai mereka dewasa, dan tanduknya agak kecil. Anoa gunung juga memiliki warna yang lebih pekat di tenggorokan dan kaki mereka dibanding dengan anoa dataran rendah.
Anoa adalah hewan herbivora, mereka memakan rumput, anakan, pakis-pakisan dan buah-buahan. Untuk mendapatkan mineral tambahan, mereka juga meminum air laut. Anoa termasuk hewan yang pasif dan pemalu, akan tetapi jika sudah terpojok, Anoa bisa menyerang musuhnya. Anoa mengancam musuhnya dengan tanduk-tanduk mereka yang tajam.Anoa sudah bisa berkembang biak saat mencapai umur dua-tiga tahun dan akan kawin dan melahirkan anaknya sekali dalam setahun, tapi tetap saja Anoa tidak memiliki musim kawin yang jelas. Setelah periode kehamilannya sekitar 275-315 hari, sang induk akan melahirkan satu bayi anoa, dan sangat jarang yang melahirkan hingga dua ekor bayi anoa. Bayi anoa disapih oleh induknya setelah enam sampai sembilan bulan. Anoa bisa hidup hingga 15-20 tahun di alam liar.
Informasi yang kurang dari Anoa membuat para ahli masih ragu apakah anoa jantan menandai daerah teritorial mereka sendiri atau tidak. Para jantan terlihat menandai pohon dengan tanduk mereka atau menggaruk tanah setelah mereka buang air kecil, tapi tidak jelas apakah mereka menandai wilayah mereka atau hanya menunjukan keagresian mereka.

KUSKUS (AILUROPS URSINUS)
Kuskus beruang sulawesi ( Ailurops ursinus ) merupakan salah satu jenis hewan endemik pulau sulawesi yang dilindungi oleh peraturan pemerintah no 7 tahun 1999. Hewan yang masuk dalam daftar merah spesies terancam IUCN 2008 ini adalah anggota dari genus Ailurops. Kuskus Beruang adalah hewan marsupial dan dari keluarga Phalangeridae. Bentuk tubuhnya yang besar seperti kucing bahkan bisa lebih ukurannya. Kuskus beruang ini ukurannya sangat besar dibandingkan dengan para kerabatnya di keluarga phalangeridae, oleh sebab itu mamalia ini di sebut dengan kuskus beruang karena bentuk tubuhnya seperti beruang.
Kuskus beruang memiliki ukuran tubuh yang besar jika dibandingkan dengan jenis kuskus pada umumnya. Bentuk tubuhnya yang besar membuat mamalia satu ini menjadi mamalia terbesar di tajuk atas hutan setelah monyet yang ada disana. Panjang badan dan kepala adalah 56 cm, panjang ekornya 54 cm dan beratnya dapat mencapai 8 kg, Warna tubuh jantan dan betina tidak ada perbedaan. Panjang ekor hampir sama panjang dengan panjang tubuh, bagian ekor ditumbuhi rambut dari pangkal sampai lebih dari setengah panjang total ekor, sisa ujung ekor yang tidak ditumbuhi rambut berwarana hitam, ujung ekor  ini sangat kuat dan dapat digunakan untuk bergelantungan atau melilit batang dahan pohon saat mencari makan (prehensil) dan dapat digunakan sebagai alat untuk menggantung yang menahan seluruh beban tubuh saat dengan posisi kepala di bawah saat mencari makan di pohon.
Daun telinga pendek, hampir tidak terlihat karena tersembunyi dibawah rambut-rambut kepala, bagian luar dan dalam telinga berambut. Warna dasar tubuh bagian atas adalah hitam pucat dengan rambut bagian punggung berwarna coklat kehitaman, beberapa rambut bagian tubuh lain berwarna kuning kecoklatan atau lebih pucat.
Klasifikasi kuskus beruang menurut Temminck (1824) dalam Flannery et al. (1987) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Sub Phylum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Marsupialia
Famili : Phalangeridae
Sub Famili : Ailuropinae
Genus : Ailurops
Spesies : Ailurops ursinus (Temminck, 1824).
Kuskus beruang merupakan binatang yang pendiam, hampir-hampir tidak bersuara kecuali kalau terganggu. Butuh pengamatan yang jeli untuk dapat melihat keberadaan kuskus beruang walaupun satwa ini relatif pendiam dan jarang bersuara. Sekali menemukan satwa ini maka pengamat akan dapat melakukan pengamatan dengan puas karena satwa ini bergerak sangat lamban. Mamalia berkantung ini membentuk kelompok kecil yang hanya terdiri dari induk dan bayinya, kecuali pada musim kawin, kuskus betina dan kuskus beruang jantan biasanya memisahkan diri dari kelompoknya atau hidup soliter. Ekor prehensilnya dan tangan serta kakinya digunakan untuk bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya meskipun pergerakannya sangat lambat

Kuskus beruang aktif pada siang hari (diurnal). Sebagian besar aktivitas hariannya banyak digunakan untuk beristirahat dan tidur, sedikit waktunya digunakan untuk makan dan mengutu (grooming), waktunya untuk berinteraksi juga sangat sedikit, kegiatan tersebut dilakukan sepanjang siang dan malam. Waktu istirahatnya yang banyak digunakan untuk mencerna selulosa dari dedaunan sebagai sumber makanannya yang mengandung sedikit nutrisi. Kuskus yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Bear Cuscus, Bear Phalanger, atau Sulawesi Bear Cuscus ini terdapat di pulau Sulawesi, pulau Butung, pulau Peleng, pulau Togian, Indonesia. Kuskus beruang betina dewasa dapat melahirkan satu-sampai dua kali dalam setahun. Kuskus beruang termasuk hewan berkantung (marsupial). Anak kuskus beruang lahir dalam keadaan sangat kecil dan akan langsung menuju kantung induknya untuk dibesarkan selama sekitar 8 bulan, setelah itu akan keluar dari kantong dan hidup bersama induknya sampai siap untuk mandiri.
Pengamat bisa melakukan pengamatan ditempat sumber pakan kuskus beruang. Untuk memperbesar peluang pertemuan dengan kuskus beruang sediakan makanan favorit mereka. Makanananya terdiri dari daun dan buah, misalnya daun kayu kambing ( Garuga floribunda ), Pohon mindi ( Melia azedarach ), kenanga ( Cananga ordorata ) dan buah rao (Drancotomelon dao dan D. Mangiferum). Daun muda lebih disukai karna lebih mudah dicerna dan mengandung lebih sedikit tanin, tetapi sesekali daun yang lebih tua juga dimakan untuk memenuhi kebutuhan protein. Kadang-kadang bunga dan buah mentah juga dimakan untuk memenuhi kebutuhan protein.
Saat ini populasi kuskus beruang terus menurun dan terancam punah, karena terjadinya perburuan dan perdagangan liar. Di samping itu sebagian hutan yang merupakan habitat aslinya telah mengalami kerusakan akibat pembukaan hutan untuk areal pertanian dan pemukiman penduduk. Di asalnya sendiri kuskus beruang sering menjadi hewan buruan petani dikarenakan hewan yang sering dipanggil “Kuse” ini sering memakan daun-daun muda yang ditanami oleh petani. Hewan yang hobinya tidur ini oleh pemerintah sudah dimasukan dalam daftar hewan dilindungi dalam peraturan pemerintah no.7 tahun 1999, tetapi sampai saat ini pun pemerintah belum mampu menghentikan perdagangan satwa liar ilegal.
Meskipun masih bisa ditemui di beberapa tempat seperti di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan di kawasan pegunungan Lompo Battang (Sulawesi Selatan), populasi Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) diyakini mengalami penurunan drastis. Oleh karenanya IUCN Red List memasukkan Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dalam kategori Vulnerable.Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka usaha pelestarian dan perlindungan satwa khususnya kuskus sangat penting untuk segera dilakukan. Salah satu usaha mendukung pelestarian satwa liar adalah dengan menangkarkannya, karena melalui penangkaran dapat dipelajari dan diperoleh banyak informasi ilmiah guna menunjang konservasi baik in situ maupun ex situ.

BURUNG MALEO (MACHROCEPALON MALEO)

Sekilas burung ini nampak mirip ayam dengan berjambul dengan bulu kombinasi hitam dan putih pada bagian perut sebagai ciri khasnya. Burung Maleo meski terlihat sederhana tanpa banyak warna tetapi burung ini memiliki banyak keunikan dan karakteristik tersendiri.

Burung Maleo termasuk kategori burung langka sekaligus burung endemik Pulau Sulawesi atau hanya ditemukan hidup di pulau ini. Populasinya kian menurun dari tahun ke tahun sebab berbagai tantangan baik dari faktor alam atau pun perburuan oleh manusia.  Berdasarkan SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990, burung maleo telah ditetapkan sebagai satwa maskot provinsi Sulawesi Tengah. Mengingat populasinya sedikit, burung penyuka biji-bijian, semut dan serangga kecil ini adalah jenis yang terancam punah dan dilindungi. Maleo bahkan sudah terdaftar dalam CITES Appendix I sebagai kategori terancam punah  dan juga di dalam IUCN Red List.

Meskipun dikategorikan sebagai burung, maleo  tidak terlalu suka terbang dan lebih gemar berjalan kaki seperti halnya ayam. Burung Maleo dengan nama ilmiah Macrocephalon maleo panjang ukuran tubuhnya sekira 55 cm. Mahkota jambul di bagian kepala dapat dikatakan sebagai ciri utama atau ciri khusus dari maleo. Diduga jambul ini memiliki fungsi sebagai  semacam alat pendeteksi panas di areal habitat dan peneluran. Maleo hidup di dekat pantai berpasir panas atau di kawasan pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau dengan kondisi geothermal tertentu.

Burung maleo tidak mengerami telurnya melainkan menguburnya di tanah. Oleh Karenanya, mereka mencari kondisi tanah yang hangat sebagai lokasi bertelur. Untuk  kebutuhan menggali tanah ini, burung maleo dianugerahi kaki dengan selaput yang berfungsi sebagai pengeruk.

Keunikan lain dari burung ini adalah karena mereka dikenal sebagai hewan yang paling setia dan mengadopsi prinsip monogami. Sepanjang hidupnya, ia hanya akan mempunyai satu pasangan dan hidup bersama-sama dengan pasangannya itu. Kabarnya, saat pasangannya mati, burung betina maleo kemungkinan besar tidak akan bertelur lagi.

Telur burung endemik Sulawesi ini relatif berukuran besar untuk ukuran tubuh mereka yang sebesar ayam. Dengan berat antara 240 hingga 270 gram dan ukuran rata-rata 11 cm, ukuran telur burung ini mencapai 5 kali lebih besar ukuran telur ayam. Bahkan, betina maleo kabarnya dapat pingsan setelah bertelur. Jantan akan menemani betina dan bersama-sama menggali tanah sedalam sekira 50 cm saat siap untuk bertelur. Suhu tanah yang cocok untuk dapat menetaskan telur-telur tersebut adalah sekira 35 derajat celcius dan membutuhkan waktu sekira 62-85 hari untuk menetas.

Telur-telur yang sudah dikubur ditinggalkan begitu saja; anak maleo harus berjuang sendiri keluar dari tanah saat mereka berhasil menetas. Perjuangan keluar dari lubang pengeraman ini bukanlah hal yang mudah; dibutuhkan waktu sekira 48 jam. Tak jarang anak burung maleo gagal keluar dan mati. Akan tetapi, apabila mereka berhasil mencapai permukaan tanah, anak burung maleo sudah memiliki kemampuan untuk terbang.

Kemampuan terbang anak maleo yang baru menetas ini dikarenakan kandungan nutrisi pada telur maleo lima kali lipat lebih banyak dari telur biasa. Anak maleo juga sudah memiliki insting untuk mencari makan dan bertahan hidup sendiri meski tanpa bantuan dan asuhan induknya. Anak maleo juga sudah harus menjaga dirinya sendiri dari hewan pemangsa, seperti ular, kadal, babi hutan, burung elang, dan lainnya.

Populasi burung maleo saat ini diperkirakan sekitar 4000-7000 ekor saja dan diperkirakan mengalami penurunan populasi sekira 90 persen sejak tahun 1950. Meski endemik di Pulau Sulawesi, burung maleo tidak hidup di semua tempat di pulau tersebut. Burung maleo hanya ditemukan di hutan tropis dataran rendah pulau ini, khususnya daerah Sulawesi Tengah. Kawasan yang kerap menjadi lokasi bertelur burung maleo hanya ditemukan di daerah dengan sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia.

Menurunnya populasi maleo ini diakibatkan oleh beberapa faktor. Habitatnya yang khusus yaitu di daerah pantai berpasir panas atau di pegunungan dengan sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu menjadi salah satu pendorong punahnya unggas ini. Hanya di daerah dengan kondisi geothermal tertentu itulah maleo dapat menetaskan telurnya. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kematian anak maleo yang tinggi. Pembuka lahan oleh manusia jelas mengancam habitatnya yang khusus tersebut. Perburuan telur maleo oleh manusia serta predator  lain, seperti  biawak (Varanus sp), babi hutan (Sus sp), elang, tikus, dan lainnya juga turut mengancam kelestarian burung ini.

Taman Nasional Bogani dan Taman Nasional Lore Lindu adalah dua dari sedikit tempat yang menjadi habitat burung maleo. Burung maleo juga dapat ditemukan di daerah Kabupaten Sigi (Desa Pakuli dan sekitarnya) dan Kabupaten Banggai. Di Tanjung Binerean, Sulawesi Utara, pemerintah daerah menyediakan lahan seluas 14 hektar di kawasan pantai, khusus untuk konservasi atau penyelamatan maleo.

Penangkaran Maleo
Di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, telah dikenal Bapak Alikamisi Raja Pasu atau biasa disapa Pak Ali. Beliau berjasa  melakukan konservasi burung maleo atas inisiatifnya sendiri. Tindakan mulia ini ia lakukan lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Berawal dari kecintaannya pada burung endemik ini, pada 2001 Pak Ali memulai usaha penangkaran dengan 50 pasang burung maleo. Saat ini, lebih dari 400 maleo berhasil dikembangbiakkan dan telah dilepas di habitat liar, yaitu di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu. Pertemuannya dengan sejumlah anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Jambata pada 2001 membuat Pak Ali semakin serius melakukan usaha penangkaran dan pelestarian maleo.

Di tengah kesibukannya mengurus kebunnya sendiri, kakek 20 cucu ini mendedikasikan waktu, tenaga, bahkan uangnya yang terbatas untuk menangkarkan burung maleo. Beliau memindahkan telur ke lokasi pengeraman atau penangkaran dimana terdapat lubang-lubang dalam tanah berpasir bersuhu 35-40 derajat celsius. Kawasan penangkaran ini dipasangi pagar sehingga telur-telur tersebut aman dari predator atau pun dari usaha perburuan telur oleh manusia.

Ketika telur menetas, setiap hari Pak Ali membeli buah kemiri dengan uangnya sendiri dan dengan sabar menumbuk buah kemiri tersebut guna memberi makan anak maleo.  Setelah maleo cukup besar dan dinilai mampu bertahan hidup, burung maleo kemudian di lepas ke Taman Nasional Lore Lindu, meski dengan berat hati sebab kecintaannya pada burung-burung tersebut.

Karena upaya dan inisiatifnya tersebut, tahun 2008, Pak Ali diperkirakan telah melepas sebanyak 880 ekor burung maleo di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Oleh karena prestasinya tersebut, Pak Ali dianugerahi penghargaan dari Bupati Donggala atas upaya penyelamatan dan penangkaran burung maleo.